Istilah “joki skripsi” tentu sudah familiar di kalangan mahasiswa akhir dalam menempuh pendidikan sarjananya, skripsi sendiri dianggap momok bagi kalangan mahasiswa akhir karena lika-liku pengerjaannya tidaklah mudah, tetapi harus dikerjakan oleh semua mahasiswa akhir demi kelulusan. Bukan hanya mengerjakan skripsi saja “joki skripsi” marak ditemukan di kalangan mahasiswa, namun juga dalam pengerjaan karya ilmiah tesis maupun disertasi. Bagaimana sih cara kerja “joki skripsi” yang semakin marak ditemukan ini?
Kompas.tv pernah melakukan wawancara dengan seseorang yang sudah lama berkecimpung di dunia joki skripsi, mereka menjelaskan bahwa bukan hanya skripsi, tesis, dan disertasi saja yang dapat menggunakan jasa joki, tetapi di bidang pendidikan yang pernah dihebohkan dengan kecurangan UTBK yang merupakan syarat atau penentu untuk masuk ke perguruan tinggi pun ada istilah “joki UTBK”, hal tersebut diketahui dari adanya link di Google Drive yang berisikan foto-foto soal yang dimuat dalam UTBK.
Dengan maraknya keberadaan “joki” di tengah dunia pendidikan, kompas.tv mengungkapkan hasil wawancara dengan “joki” ini termasuk bagaimana cara kerja mereka. Apakah “joki skripsi” ini pantas untuk disamakan dengan tindak pidana korupsi? Hingga membuat KPK mengklaim bahwa mereka merupakan bibit perilaku korupsi. Hasil dari wawancara kompas.tv kepada pelaku “joki skripsi” ini ternyata sebagian besar yang menggunakan jasa mereka adalah mahasiswa akhir yang terancam DO (Drop Out) dari kampusnya, pengguna jasa mereka pun banyak yang berasal dari kampus ternama. Cara kerja “joki skripsi” ini pun diawali dengan pertemuan bersama klien, baik secara langsung maupun secara online guna berdiskusi alur karya ilmiah yang akan dikerjakan. Apabila telah mendapatkan klien, mereka bersepakat akan dikerjakan bagian manakah skripsi tersebut? Pengerjaannya pun beragam, ada yang seluruh skripsi mulai awal sampai akhir atau hanya sebagian saja seperti bab tertentu maupun bagian proposal saja. Setelah bersepakat, klien diminta untuk membayarkan DP atau uang muka sebesar 50 persen dari keseluruhan harga yang dipesan. Barulah pengerjaan skripsi dimulai, proses pengerjaan tersebut membutuhkan waktu 1 sampai 3 bulan atau tergantung dengan tingkat kesulitan dari skripsi tersebut, mereka mengatakan semakin banyak data atau referensi yang dikumpulkan maka semakin cepat proses pengerjaannya. Dan mereka selaku “joki skripsi” mengaku menolak permintaan klien yang berasal dari teknik mesin atau kelistrikan tetapi belum ada alatnya yang harus dikerjakan untuk skripsi, karena mereka tidak memahami alat-alat tersebut dan tidak mau merugikan orang lain. Mereka juga memprioritaskan pengerjaan skripsi tersebut berdasarkan tema yang telah mereka kuasai atau setidaknya yang dapat dipelajari dengan cepat. Terakhir ketika mereka telah menyelesaikan pengerjaan skripsi sesuai permintaan klien maka akan memberi bocoran sekaligus meminta klien untuk melunasi biaya pengerjaan skripsi tersebut, begitu telah lunas baru dikirimkan file skripsi yang lengkap.
Berdasarkan cara kerja “joki skripsi” tersebut benarkah seorang yang menerima jasa pengerjaan skripsi menjadi lebih pandai daripada seorang yang menggunakan jasa “joki skripsi”? Bagaimana sebenarnya definisi tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang atau peraturan yang berlaku? Alasan apa yang membuat KPK mengklaim bahwa “joki skripsi” merupakan bibit perilaku korupsi?
Pengertian korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 20021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara maupun perekonomian negara.
Alasan pihak KPK mengklaim bahwa yang dilakukan seorang “joki skripsi” merupakan bibit-bibit perilaku tindak pidana korupsi, karena skripsi merupakan karya akademis yang seharusnya dibuat tolok ukur pemahaman mahasiswa selama perkuliahan kini tidak lagi menjadi hal yang krusial dan harus dikerjakan sendiri. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK (Wawan Wardiana) dalam liputan6.com, “Dengan menggunakan joki, mahasiswa sudah melakukan kebohongan dan tidak jujur atas apa yang diperbuat. Sekarang yang terjadi nggak usah capek sekolah karena dapat gelar gampang (dengan jasa joki),”
Wawan menambahkan, “KPK juga pernah menangani kasus di mana lima orang mahasiswa melakukan korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp350,5 juta. Hal ini menunjukkan bagaimana korupsi tidak hanya menyasar para petinggi di negeri ini saja, melainkan sudah masuk ke lingkungan pendidikan yang seyogyanya merupakan zona integritas. Dalam beberapa kasus juga pernah ditemukan adanya kelemahan sistem yang rawan untuk dijadikan celah korupsi. Misalnya kasus penerimaan mahasiswa baru mandiri tanpa mekanisme dan aturan yang jelas hingga menyeret seorang rektor dalam kasus korupsi.”, Wawan kembali menegaskan, “Kalau hal ini dibiarkan dalam kehidupan sehari-hari tentu akan berkembang menjadi suap dan gratifikasi di masa depan. Dua kasus itu memiliki presentase 80% dari kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK.”. Dengan pernyataan berikut akankah budaya “joki skripsi” berkurang dari tahun ke tahun? Belum ada yang dapat memprediksi berkurangnya “joki skripsi” walaupun himbauan untuk menjauhi perilaku yang dapat mengarah ke tindak pidana korupsi dilakukan dimana-mana.